Kamis, 10 Oktober 2013

Transpirasi Pada Tumbuhan


BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Transpirasi merupakan prosos hilangnya air dari jaringan hidup dalam bentuk uap air melalui stomata dan kutikula. Proses kehilangan air terbesar maluli stomata. Transpirasi pada tumbuhan yang memiliki daun sedikit terjadi di kutikula. Transpirasi umumnya terjadi ketika stomata terbuka saat proses fotosintesis. Transpirasi sangat dipengaruhi oleh bebrapa factor internal dan eksternal pada tumbuahan seperti kadar karbondioksida, ukuran tumbuhan, suhu, cahaya, aliran udara, kelembaban, serta ketersediaan air. Pembukaan dan penutupan stomata dipengaruhi oleh beberapa factor tersebut, terbuak dan tertutupnya stomata dikontrol oleh perubahan tekanan turgor sel yang berkorelasi dengan kadar ion kalium. Saat stomata terbuka, terjadi pertukaran gas pada daun dengan udara sekitar(atmosfer) dan air akan menguap atau hialang ke udara. Trasnpirasi tidak dapat dihentikan atau dihindari oleh tumbuhan dan jika berlebihan akan merugikan karena akan membuat layu tumbuhan bahkan mati.   
Air yang diambil oleh akar lebih dari 20%-nya dikeluarkan kembali ke udara dalam bentuk uap air. Uap air yang berasal dari transpirasi oleh tumbuhan tingkat tinggi berasal dari daun selain dari bunga, batang dan buah.  Arus transpirasi air dan ion organic terlarut dari akar ke daun melalui xylem merupakan efek terjadinya traspirasi. Transpirasi diaggap penting karena mengatur daya angkut air ke atas pada tanaman dan mengatur suhu pada tanaman . pada kondisi transpirasi yang tinggi akan menyebabkan tingginya konsumsi air oleh tumbuahan dan mengakibatkan akar tanaman bekerja lebih keras dengan cara memperluas jangkauan serapannya.
Setiap tumbuhan memiliki mekanismenya sendiri dalam mengatur laju transpirasi untuk keberlangsungan kehidupannya seperti pada kaktus, jati, akasia, bahkan padi pun memiliki mekanisme tersendiri dalam mengatur laju transpirasinya. Pada jati dan akasia pengaturan transpirasi saat musim kemarau denagn menggugurkan daunnya atau sering disebut meranggas. Pada kaktus pengaturan laju transpirasinya adalah tidak menumbuhan sehelaipun daun serta menggantinya dengan duri dan membungkus tubuhnya dengan lapisain lilin tipis yang diproduksi oleh tubuhnya sendiri untuk mengurangi penguapan dan gangguan dari OPT.

1.2 Tujuan
Praktikan dapat mengetahui pristiwa transport air pada batang tanaman.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Transpirasi adalah kehilangan air karena penguapan melalui bagian dalam tubuh tanaman, yaitu air yang diserap oleh akar-akar tanaman, dipergunakan untuk membentuk jaringan tanam-an dan kemudian dilepaskan melalui daun ke atmosfir (Purba, 2011). Sebagian air mengguap melalui batang, tetapi kehilangan air umunya berlangsung melalu daun. Dikenal dua jenis transpirasi, transpirasi stomata dan transpirasi kutikula (Tjitrosomo, 1987).  Factor – factor yang mempengaruhi tranpirasi terdapat pada tanaman itu sendiri dan lingkungan. Factor-faktor lingkungan yang mempengaruhi seperti radiasi matahari, tempratur, kelembaban relative, dan angin. Factor- factor pada tumbuhan seperti penutupan stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun,  dan pelipatan daun (Gardner, 1991 ) ; (Dwidjoseputro, 1992)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan naungan dan ketersediaan air tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada indeks stomata. Indeks stomata tertinggi yaitu 10,67 terdapat pada interaksi perlakuan tanpa naungan dan ketersediaan air 100% kapasitas lapang, sedangkan indeks stomata terendah yaitu 6,02 terdapat pada kombinasi perlakuan naungan 75% dan ketersediaan air 40% kapasitas lapang. Ada kecenderungan semakin meningkat cahaya yang diterima tumbuhan, maka indeks stomatanya semakin tinggi (Anggarwulan, 2008).
Translokasi melalui xylem berupa unsur hara yang dimulai dari akar terus ke organ-organ,seperti daun untuk diproses dengan kegiatan fotosintesis. Stressair memperlihatkan pengaruhnya melalui terhambatnya proses translokasi. Pengaruhnya tidak langsung terhadap produksi adalah berkurangnya penyerapan hara dari tanah. Berkurangnya penyerapan unsur hara akan menghasilkan laju sintesis bahan kering (antara lain protein) yang rendah pula. Cahaya dan air memegang peranan penting dalam proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan berpengaruh pada kadar N daun (Anggarwulan, 2008) .
Peran transpirasi pada tumbuhan sangatbanyak namun yang terpenting adalah untukmelepas energi yang diterima dari radiasimatahari. Energi matahari yang digunakan untukfotosintesis hanya 2% atau kurang, sehinggaselebihnya harus dilepaskan ke lingkungan, baikdengan pancaran, hantaran secara fisik dansebagian besar untuk menguapkan air (Santosa,1990). Ion K sangat berpengaruhterhadap kemungkinan keluar masuknya bahanterlarut ke sel penutup, sehingga terjadi perubahan permeabilitas pada membrannya (Haryati, 2009) .
Respons yang pertama kali dapat diamati pada tanaman yang kekurangan air ialah penurunan conductance yang disebabkan oleh berkurangnya tekanan turgor. Hal ini mengakibatkan laju transpirasi berkurang, dehidrasi jaringan dan pertumbuhan organ menjadi lambat, sehingga luas daun yang terbentuk saat kekeringan lebih kecil. Kekeringan pada tanaman dapat menyebabkan menutupnya stomata,sehingga mengurangi pengambilan CO2dan menurunkan berat kering ( Ai et al, 2010 dalam Lawlor, 1993; Samaatmadja et al., 1985).
Terjadinya peningkatan susut berat pada cabai rawit putih selama penyimpanan disebabkan juga oleh proses fisiologis, adanya mikroba patogen dan luka mekanis. Susut berat karena proses fisiologis adalah akibat dari terjadinya proses transpirasi, respirasi yang ditimbulkan oleh suhu tinggi (suhu kamar) dan suhu rendah. Selain dapat menghambat respirasi, pendinginan juga dapat menyebabkan warna kulit luar menjadi coklat kehitaman. Warna kulit luar yang menjadi coklat kehitaman ini disebabkan karena adanya proses transpirasi pada cabai. Sedangkanpada suhu 20°C dan 29°C (suhu kamar) hari ke 15 terjadi pula perubahan lain selain warna, yaitu tekstur buah cabai menjadi lunak dan keriput. Hal ini disebabkan oleh oksidasi pektin dimana pada saat pematangan pektin tidak mampu lagi mengikat air pada buah cabai sehingga air yang keluar semakin besar dan mengakibatkan tekstur buah cabai menjadi lunak dan keriput (Rachmawati, 2009).
Menurut Salisbury dan Ross (1995) tidak semua spesias stomatanya peka terdadap kelembaban atmosfer. Stomata akan menutup bila selisih kandungan uap air diudara dan ruang antar sel melebihi tiitk kritis. Hal ini disebabkan oleh gradien uap yang tajam mendorong penutupan stomata, respon paling cepat terhadap kelembaban yang rendah terjadi pada saat tingkat cahaya rendah. Hasil penelitian menunjukkan adanya beda nyata lebar porus stomata siang hari dengan pagi dan sore hari. Hal ini diduga suhu tinggi 30-350 C biasanya stomata menutup/menutup sedikit sebagai respon tidak langsung terhadap keadaan rawan air dan laju respirasi, sehingga CO2 dalam daun juga naik. Disamping itu juga tanaman berusaha memperkecil transpirasi untuk mencegah kekeringan. Adanya faktor dalam tumbuhan maka penyerapan air hampir setara denga transpirasi bila penyediaan air cukup (Haryati 2009).
BAB 3. BAHAN DAN METODE
3. 1 Tempat dan Waktu
Praktikum ini dilakukan di laboratorium Fisiologi Tanaman lantai 2 Fakultas Pertanian Universitas Jember pada tanggal 30 Maret 2013 pukul 07.00 WIB sampai dengan selesai.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Timbangan Analitik ketelitian 0,01 g
2. Botol kaca
3. Pisau
4. Penggaris
3.2.2 Bahan
1. Tanaman pacar air
2. Eosin
3. Air
4. Parafin padat

3.3 Cara kerja
1. Menyiapkan batang tumbuhan pacar air sepanjang 20 cm dan batang tumbuhan pacar air sepanjang 20cm dengan membiarkan organ-organ daun bunga
2. memotong miring pangkal pucuk batang tanaman pacar air di dalam air dengan pisau yang tajam dan segera memasukkan potongan tanaman tersebut pada botol yang telah berisi air dan eosin. Beri jarak lebih kurang 2 cm dari pangkal bawah batang dari dasar botol.
3. memberikan paraffin padat pada mulut botol untuk menghindari kemungkinan terjadinya penguapan. Pengamatan dilakukan setiap 45 menit sekali, dengan cara menimbang botol besrta perlengkapannya dan mencatatnya serta mengamati perubahan warna pada batang tanaman akibat pemberian eosin. Mengulangi pengukuran sebanyak 2 kali.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
NO
PERLAKUAN
BERAT AWAL
BERAT AKHIR
1
DIKUPIR
554 GRAM
550,8 GRAM
2
TIDAK DIKUPIR
543 GRAM
542,0 GRAM
3
DIKUPIR
538 GRAM
537,3 GRAM
4
TIDAK DIKUPIR
593 GRAM
592,5 GRAM

4.2 Pembahasan
Air merupakan unsur pokok yang menyusun tumbuhan, sekitar 75-80% tubuh tumbuhan adalah air. Untuk melanjutkan siklus hidupnya tanaman memerlukan air, untuk fotosintesis maupun respirasi. Namun setiap jenis tumbuhanmemiliki spesifikasinya sendiri terhadap kebutuhan akan air, bila kandungan air di lingkungannya kurang atau berlebihan sama-sama tidak baik untuk tumbuhan, tumbuhan akan layu bahkan mati. Beberapa peran air pada tanaman seperti penyusun protoplasma, molekul makro dalam protoplasma seperti karbohidrat, protein, pektin dan lain-lain membentuk struktur yang unik bersosialisasi dengan molekul air. Air juga berfungsi sebagai zat pelarut. Sebagai alat transport pemindah hara, bahan yang diangkut berupa mineral dalam tanah, dan juga jasil fotosintsis serta olahan lainnya. Menjadi medium dan bahan dasar berlangsungnya reaksi biokimia. Serta sistem pengatur suhu.
Transpirasi merupakan prosos hilangnya air dari jaringan hidup dalam bentuk uap air melalui stomata dan kutikula. Proses kehilangan air terbesar maluli stomata. Transpirasi pada tumbuhan yang memiliki daun sedikit terjadi di kutikula. Transpirasi umumnya terjadi ketika stomata terbuka saat proses fotosintesis. Transpirasi berkaitan dengan transpor air, semakin tinggi laji transpirasi semakin tinggi pula transport air menuju jaringan-jaringan tumbuhan ini disebabkan karena transpirasi pada dasarnya menguapkan air dengan maksud menjaga kesetabilan suhu di dalam jarinagn tanaman.
Transpirasi sangat dipengaruhi oleh bebrapa factor internal dan eksternal pada tumbuahan seperti kadar karbondioksida, ukuran tumbuhan, suhu, cahaya, aliran udara, kelembaban, serta ketersediaan air. Factor – factor yang mempengaruhi tranpirasi terdapat pada tanaman itu sendiri dan lingkungan. Factor-faktor lingkungan yang mempengaruhi seperti radiasi matahari, tempratur, kelembaban relative, dan angin. Factor- factor pada tumbuhan seperti penutupan stomata, jumlah dan ukuran stomata, jumlah daun,  dan pelipatan daun (Gardner, 1991 ) ; (Dwidjoseputro, 1992)
Xilem dan floem merupakan suatu jaringan pengangkut yang terdapat pada tanaman. Xilem memiliki peran sebagai pengangkut air dan larutan mineral dan hara dan di distribusikan ke seluruh jaringan tanaman yang membutuhkan. Floem berfungsi sebagai jaringan pengangkut hasil fotosintesis untuk di sebarkan ke suluruh jaringan tanaman.
 Pada data pengamatan praktikum didapatkan hasil yang berbeda pada literatur. Menurut Gardner (1991) dan Dwidjoseputro (1992) penutupan stomata, jumlah daun dan ukuran daun, serta jumlah stomata mempengaruhi laju transpirasi. Laju transpirasi berkaita terhadap transport air pada tanaman. Terlihat pada data bahwa tumbuhan pacar air yang dikupir daunnya (no.1) memberikan hasil transpirasi terbesar dengan pengurang bobot hingga 4 gram, dan pada tanaman yang tidak dikupir daunnya rata-rata hanya mengalami pengurangan bobot sebesar 1 gram saja. Ini  membuktikan kebiasan dari data yang diperoleh. Data yang seharusnya diperoleh adalah dengan tumbuhan pacar air yang ada daunnya menghasilkan transpirasi lebih banyak dari pada transpirasi pada tumbuhan pacar air yang dikupir daunnya, karena beberapa faktor seperti jumlah dan luas daun serta jumlah stomata berpengaruh terhadap laju transpirasi.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Tanaman pacar air yang dikupir daunnya memiliki tingkat laju transpirasi terbesar denga pengurang bobot tanaman  rata-rata  2,25 gram, sedangkan pada tnaman yang tidak dikupir daunnya memberikan hasil pengurangan bobot hanya rata-rata kurang dari 1 gram.

5.2 Saran
Praktikan harus lebih teliti lagi dalam menimbang bobot tanaman di awal dan akhir pengamatan agar tidak menghasilkan data yang bias. Waktu yang dibutuhkan untuk pengamatan juga masih kurang,  ini menyebabkan hasil transpirasi kurang teliti
  
DAFTAR PUSTAKA
Ai, Nio Song, dkk. 2010. Evaluasi indikator Toleransi Cekaman Kekeringan Pada Fase Perkecambahan Padi (Oryza sativa L.). Biologi 14(1): 50-54.
Anggarwulan, et al. 2008. Karakter Fisiologi Kimpul Pada Variasi Naungan dan Ketersediaan Air. Biodiversitas 9 (4): 264-268
Dwidjoseputro. 1992. Pengantar fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gardner P, et al. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: Universitas Indonesia.
Haryanti, Sri. 2009. Optimalisasi Pembukaan Porus Stomata Daun Kedelai (Glycine max (L) merril) Pada Pagi Hari dan Sore. Bioma 11(1): 18-23.
Purba H J. 2011. Kebutuhan dan Cara Pemberian Air Irigasi untuk Tanaman Padi Sawah. Sains dan Teknologi 10(3):145-150
Salisbury. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: ITB Press.
Suhartono, dkk. 2008. Pengaruh Interval Pemberian Air Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kedelai (Glicine Max (L) merril) Pada Berbagai Jenis Tanah. Embryo 5(1): 98-112.
Tjitrosomo, Siti S. 1987. Botani Umum 2. Bandung: Angkasa.

Jumat, 04 Oktober 2013

Problematika Cara-Cara Pengendalian Hama Dan Penyakit Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1992 Ditinjau Dari Aspek Efektifitas Dan Efesiensi Di Lapangan



BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar  Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam hayati dan lingkungan yang menjadi sumber kehidupan bangsa yang membutuhkan pengelolaan, salah satunya melalui pembangunan pertaninan. Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang diarahkan pada perkembangan pertanian maju, efesian, efektif dan meningkatkan kualitas produk dan taraf hidup bangsa. Untuk mewujudkan itu maka digunakan sistem budidaya tanaman yang berasaskan manfaat, lestari dan berkelanjutan dengan  ruang lingkup meliputi proses kegiatan produksi sampai dengan pasca panen yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Segala kegiatan yang termasuk ke dalam sistem budidaya telah diatur dalam undang-undang tersebut sehingga masyarakat diharapkan mampu mewujudkan pertanian seperti yang diharapkan dalam undang-undang. Harapan yang diiginkan yaitu erjadinya produktifitas yag tinggi serta yang berlandaskan prinsip-prinsp agroekologi.
Dalam setiap usaha pasti muncul berbagai permasalahan, begitu pula dalam sistem budidaya tanaman. Permasalahan yang muncul salah satunya adalah organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam sistem budidaya tanaman terdapat kegiatan perlindungan tanaman yang merupakan segala upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Ada berbagai macam upaya perlindungan tanaman, yaitu secara kimia dengan pestisida dan dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Perlindungan tanaman secara kimia merupakan upaya yang umum digunakan oleh petani. Aplikasi perlindungan tanaman secara kimia oleh petani seringkali menggunakan pestisida berlebihan sehingga menimbulkan residu pada produk dan lingkungan. Hal ini tidak sesuai dengan sistem budidaya tanaman yang tercantum dalam UU No 12 Th 1992, yang menerangkan bahwa sistem budidaya berasaskan manfaat, lestari dan keberlanjutan. Oleh karena itu perlindungan tanaman secara kimia dijadikan upaya terakhir sedangkan upaya sebelumnya menggunakan pengendalian hama terpadu yang dalamUU No 12 Th 1992 pasal 21 meliputi pencegahan (preventif), pengendalian atau pengobatan (kuratif) dan eradikasi.
Perlindungan tanaman dengan cara PHT diupayakan menjadi bagian dalam sistem budidaya tanaman petani pada umumnya karena PHT lebih sesuai dengan sistem budidaya tanaman yang diharapkan oleh pemerintah dalam UU No 12 Th 1992. PHT dalam pelaksanaannya diusahakan menggunakan bahan-bahan dari alam sehingga tidak mengganggu lingkungan dan kesehatan konsumen. PHT merupakan cara penyeimbaga ekosistem yang digunakan dalam bidang pertanian, karena pada dasarnya semua makluk hidup tidak boleh untuk dimusnakan tanpa sisa.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pangandalian OPT berdasarkan UU No 12 Th 1992?
2.      Bagaimana efektifitas dan efisiensi pengendalian OPT secara PHT berdasarkan UU No UU 12 Th 1992?
3.      Bagaimana aplikasi PHT oleh petani terkait efisiensi dan efektifiasnya?
1.3  Tujuan
1.      Mengetahui pengendalian OPT berdasarkan UU No 12 Th 1992
2.      Mengetahui efektifitas dan efisiensi pengendalia OPT secara PHT berdasarkan UU No 12 Th 1992.
3.      Mengetahui aplikasi PHT oleh petani terkait efisiensi dan efektifitasnya.
  
BAB 2. PEMBAHASAN
Berdasarakan Undang-undang nomor 12 tahun 1992 perlindungan tanaman diharapkan dapat berbasis ramah lingkungan seperti aplikasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu merupakan integrasi dari konsep Pertanian Berkelanjutan, dan secara konsep luas Pertanian Berkelanjutan dan PHT adalah satu kesatuan. PHT bertujuan tidak hanya mengendalikan populasi hama tetapi juga meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi serta meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan petani. Cara dan metode yang digunakan adalah dengan memadukan teknik-teknik pengendalian hama dengan tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Pengunaan agensi hayati, pestisida alami, pengendalian secara manual merupakan sebagian teknik PHT yang sekarang sedang dikembangkan.
Aplikasi Pengendalian Hama Terpadu masih sulit dikembangkan pada tingkat petani. Hal ini terjadi karena petani masih memiliki main set pengendalian hama yang instan agar tanaman milik mereka tetap dapat tumbuh dan berproduksi baik. Konsep dari Pengendalian Hama Terpadu sebenarnya mengharapkan interaksi antara petani dan pemerintah, sehingga informasi dan teknologi dapat tersebar merata. Dengan adanya interaksi antar pemerintah dan petani nantinya akan merubah main set dari petani, dari main set pengendalian instan tanpa menghiraukan kondisi lingkungan menjadi Pengendalian Hama Terpadu yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Ada 7 Komponen  yang harus diperhatikan untuk kelancaran konsep PHT yaitu (1) Pengendalian dengan Karantina, karantina dilakukan oleh pemerintah pada tingkatan pintu masuk bahan-bahan pertanian yang masuk ke suatau wilayah sehingga hama tidak tersebar dengan mudah. (2) Pengendalian secara fisikdan makanik,Pengendalian fisik merupakan usaha kita menggunakan atau mengubah faktor lingkungan fisik sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kematian pada hama dan mengurangi populasinya. Kematian hama disebabkan karena faktor fisik seperti suhu, kelembaban, suara yang dikenakan diluar batas toleransi serangga hama sasaran. Batas toleransi disini dapat berupa batas terendah dan tinggi. (3) Pengendalian secara Varietas Tahan, pengembangan varietas yang tahan terhadap hama tertentu masuk dalam skema PHT karena dengan adanya varietas yang tahan hama maka akan mengurangi penggunaan pestisida kimia. (4) Pengendalian secara Hayati/Biologis, pengendalian  secara hayati merupakan pengendalian yang memanfaatkan agensi hayati atau mikroorganisme yang bersifat antagonis, penggunaan agensi hayati lebih ramah terhadap lingkungan daripada penggunaan agensi hayati. (5) Pengendalian secara Kimia, pengendalian secara kimia dianjurkan sebagai pilihan terakhir bila benar-benar dibutuhkan. Indikator yang dapat dipakai dalam penggunaan pengendalian secara kimia atau dengan pestisida kimia adalah Ambang Ekonomi, bilamana serangan hama sudah mencapai Ambang Ekonomi maka petanidapat menggunakan pestisida kimia. Penggunaan Pestisida Kimia harus memperhatikan 3 aspek yaitu tepat waktu, tepat dosis, dan tepat sasaran.
PHT merupakan konsep sekaligus strategi penanggulangan hama dengan pendekatan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Juga dapat diartikan sebagai pemanfaatan proses pengendalian alami dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami. Maka dari itu, pengendalian hama harus terkait dengan pengelolaan ekosistem secara keseluruhan. Artinya sebelum dilakukan usaha pertanian, petani telah merencanakan tanaman yang akan ditanam mengenai keberadaan hama dan penyakit. Pengelolaan tersebut dimaksudkan agar tanaman dapat tumbuh sehat sehingga memiliki ketahanan ekologis yang tinggi terhadap hama. Untuk itu, petani harus melakukan pemantauan lapang secara rutin sehingga perkembangan populasi dan faktor-faktor penghambat lainnya dapat diatasi dan diantisipasi sedangkan faktor-faktor pendukung dapat dikembangkan. Dengan demikian pengelolaan hama terpadu lebih efektif dan efisien untuk mencegah adanya hama dan penyakit yang menyerang tanamana dibanding hanya dengan menggunakan pestisida.
            Pengelolaan ekosistem kemungkinan masih terjadi peningkatan populasi dan serangan hama, maka langkah selanjutnya adalah tindakan pengendalian. Ini dikarenakan hama dan penyakit yang menyerang tidak sampai ambang ekonomi. Sasaran PHT yaitu pada penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, Populasi hama dan kerusakan tanaman karena serangannya secara ekonomis tidak merugikan, Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Apabila terpaksa menggunakan pestisida karena adanya hama dan penyakit yang berpengaruh pada ambang ekonomi dapat dilakukan pestisida secara selektif. Penggunaan pestisida secara selektif bertujuan untuk mengembalikan populasi hama pada tingkat keseimbangannya. Selektivitas pestisida didasarkan atas sifat fisiologis, ekologis, dan cara aplikasi. Penggunaan pestisida diputuskan setelah dilakukan analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan ambang kendali.
            Berdasarkan tabel diatas dan beberapa hasil penelitianmenunjukkan bahwa secara umum penerapanteknologi PHT menurunkan biaya produksi. Menurut Agustian (2009) menyatakan bahwa penerapan teknologi PHT pada komoditasperkebunan rakyat dapat meningkatkankeuntungan usahatani secara signifikan.Persentase peningkatan keuntungan usahataniyang diraih lebih tinggi dibanding denganpeningkatan biaya usahataninya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan metode PHT lebih efektif dan efisien.
Hama dan penyakit merupakan suatu bentuk permasalahan yang terus terjadi  dari masa ke masa tidak pernah selesai dalam dunia pertanian. OPT ibarat monster yang sangat menakutkan bagi seorang petani, karena OPT dianggap dapat menurunkan atau bahkan menggagalkan hasil dari tanaman yang mereka tanam. Dengan adanya asumsi petani terhadap OPT, maka petani menganggap pestisida kimia merupakan obat jitu dalam membunuh OPT. Kebiasaan petani akan penggunaan pestisida yang secara terus-menerus berdampak negatif, baik dari segi ekologi, ekonomi dan sosiologi. Akan tetapi , adanya permasalahan tersebut dapat diminimalisir jika  PHT dapat diterapkan dengan baik di lingkungan petani. Akan tetapi, petani masih memandang sebelah mata akan penerapan PHT tersebut.
Pengaplikasian PHT di lapang dilakukan dengan mengalakkan adanya pertanian organik serta Sistem Pertanian  Berkelanjutan di mana di dalamnya diterapkan sistem pengendalian OPT yang ramah lingkungan. Sistem PHT dalam UU No. 12 Tahun (Pasal 22) menetapkan larangan penggunaan sarana dan/atau cara yang dapat  mengganggu kesehatan dan/atau  mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup, belum secara eksplisit menyebut ramah lingkungan, tetapi dari kalimat terakhir menimbulkan gangguan dst sudah mengandung pengertian ramah lingkungan.
       Pengaplikasian PHT dapat dikatakan efektif jika penggunaan PHT tersebut tepat guna. Tepat guna dalam takaran tepat waktu, dosis, tepat jenis, dan tepat sasaran. Sedangkan pengaplikasian PHT dikatakan efisien jika penerapannya dapat mengurangi waktu dan jika ditinjau dari segi ekonomis. Penerapan pengendalian hayati dalam pengendalian OPT di tingkat lapang masih sangat kurang. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah antara lain adalah:
1.   Koordinasi serta keterlibatan setiap stakeholder terutama dalam hal wewenang dan tanggungjawab masing- masing.
2.   Sosialisasi mengenai pengendalian hayati di tingkat petani, peluang-peluang serta tantangannya.
3.   Khusus untuk pengendalian hayati dengan penggunaan agens hayati diperlukan langkah-langkah antara lain adalah:
a.       Mengembangkan dan memfasilitasi eksplorasi berbagai agens hayati untuk pengendalian OPT antara lain oleh Laboratorium PHP/Laboratorium Agens Hayati.
b.      Memfasilitasi pemanfaatan agens hayati yang telah ditemukan antara lain   pemasyarakatan dan demo lapang di tingkat petani.
c.       Peningkatan kemampuan petani/ kelompok tani dalam memanfaatkan agens hayati antara lain latihan-latihan, magang, penyediaan sarana, penyediaan starter/biakan murni, informasi dan lain-lain.
d.      Pembentukan dan pelaksanaan kegiatan perkumpulan petani pengguna agens hayati antara lain peralatan perbanyakan agens hayati, latihan- latihan, koordinasi, dan lain-lain.
e.       Memfokuskan Laboratorium PHP/ Laboratorium Agens Hayati untuk eksplorasi, efikasi, perbanyakan starter dan memasyarakatkan kepada petani. Sementara perbanyakan untuk aplikasi dilakukan oleh petani.
f.   Meningkatkan pelayanan Laboratorium PHP/Laboratorium Agens Hayati/ BPTPH kepada petani dalam pemanfaatan agens hayati.



Salah satu strategi untuk mendukung aplikasi pengendalian hama terpadu adalah dengan bebrapa cara seperti penggunaan agen hayati dan penggunaan pestisida organik. Pengunaan agen hayati dan pestisida organik terbukti lebih ramah lingkungan dan juga dapat menyeimbangkan ekosistem yang sebelumnya terganggu akibat penggunaan pestisida kimia. Agen hayati dapat berupa agen antagonis, patogen serangga, dan parasitoid.
Agens antagonis adalah bagian dari agens hayati yang berfungsi mengganggu kehidupan suatu OPT, khususnya penyakit tanah (soil borne), sehingga perkembangan OPT tersebut dapat dihambat. Agens antagonis cendawan yang sering dijumpai pada pertanaman pangan adalah Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.Penyakit-penyakit tanaman pertanian yang dapat diatasi dengan penambahan agens antagonis ke dalam tanah adalah penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora sp., Fusarium sp. dan beberapa pathogen tular tanah lainnya yang menyerang pada tanaman kentang, cabai, pisang sawi dan terong. Demikian juga agens antagonis tersebut berpeluang mengendalikan busuk akar (jamur Armillaria melea ) pada tanaman apel.
Patogen serangga merupakan mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga. Pathogen tersebut terdiri atas jamur, bakteri dan virus. Beberapa contoh hama tanaman pangan dan hortikultura yang telah dapat dikendalikan dengan pathogen serangga antara lain walang sangit dan wereng batang coklat pada tanaman padi, menggunakan Beauveria sp. atau Metharizium sp. Untuk tanaman kedelai dan apel dengan menggunakan Spodoptera litura Nuclear Polyhidrosis Virus (Sl-NPV) untuk ulat grayak (Spodoptera litura) dan perusak polong Helicoverpa armigera dengan Helicoverpa armigera Nuclear Polyhidrosis Virus (Ha-NPV). Pada tanaman bawang merah, ulat grayak (Spodoptera exigua) dapat dikendalikan dengan Spodoptera exigua Nuclear Polyhidrosis Virus (Se-NPV). Nematoda Entomopatogen (NEP) perpeluang mengendalikan hama tanaman apel seperti kutu hijau, tungau, Spider mite, cabuk merah, trips
Parasitoid merupakan serangga yang hidupnya menumpang pada atau di dalam tubuh inang (serangga inang) dan hanya pada saat sebelum parasitoid tersebut dewasa. Parasitoid yang sudah dicoba oleh Laboratorium PHP Pandaan Pasuruan adalah Trichogramma japonicum untuk mengendalikan hama penggerek batang padi. Selain itu spesies lain dari genus Trichogrammatoidea untuk mengendalikan hama Plutella xylostella (kubis), H. armigera dan penggerek polong kedelai (Etiella spp.).
Pestisida organik adalah pestisida yang bahan utamanya berasal dari makhluk hidup. Jika yang digunakan untuk membuat pestisida terbuat dari tanaman bisa disebut pestisida nabati.  Bahan aktif pestisida yang berasal dari tanaman berupa kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik dan zat – zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut dapat mempengaruhi serangga, seperti penolak (repellent), penarik (attractant), penghambat makan (anti feedant), penghambat perkembangan serangga (insect growth regulator), menurunkan kepiridian, mencegah peletakan telur (oviposition  deterrent) dan berpengaruh langsung sebagai racun.
Penggunaan agensi hayati pada petani masih sedikit. Kondisi ini terjadi karena main set dari petani masih menganggap pestisida kimia merupakan pilihan paling ampuh unuk jalan keluar masalah OPT. Pada dasarnya petani membutuhkan bimbingan dan penyuluhan yang tepat dan mudah dipahami oleh kalang petani. Bimbingan dan penyuluhan ini dapat dilakuakn oleh pemerintah dan para akademisi. Dengan memberikan fakta penggunaan agensi hayati dan pestisida organik merupakan penyelesaian masalah OPT yang ramah lingkungan, murah, dan efektif dapat memberikan pengetahuan lebih kepada petani. Perhatian lebih dari pemerintah dan akademisi diharapkan nantinya dapat merubah main set dari petani yang sebelumnya mendewakan pestisida dapat berubah melirik penggunaan agensi hayati dan pestisida organik. Penyulahn tidak bisa dilakukan sekali saja, tapi penyuluhan dilakuakn rutin dan tanpa batas waktu.